Jomblo by Adhitya Mulya

hem. darimana ya reviewnya ?
untuk siapa buku ini ? hem. saya rasa ini pertanyaan yg baik. saya menemukan buku ini di jajaran novel2 komedi seperti Lupus dan genrenya *bukankah Lupus itu genre ?*. jadi mudah saja, kalo kamu ingin membaca novel komedi maka inilah bukunya. kenyataan bahwa buku ini mengangkat tema cinta *khususnya tentang jomblo* terbaca jelas pada sub judulnya : sebuah komedi cinta. setelah membaca habis buku ini sekitar satu jam lebih - maka saya menyarankan kelompok berikut ini untuk juga membacanya :
1. Buaya Cinta
- apakah amatir atau profesional, nampaknya anda akan mendapatkan banyak hal disini. baik untuk pengembangan ilmu anda, menambah wawasan atau sekedar referensi.
2. Ya... Jomblo
- sudah jelas dari judul bukunya. tapi lebih penting lagi kalo anda termasuk golongan jomblo yg mengeluh "saya lahir tahun 1979 dan sejak itu tidak pernah punya pacar" atau anda adalah tipe2 "saya mencintainya, sudah 3 tahun dan tak punya keberanian untuk berkenalan saja" - maka buku ini mengandung pelajaran yg sangaaatt sangat berharga untuk anda. mungkin ini fiktif, tapi ini sangat dekat dengan kenyataan. if you are a hopeless jomblo : BUY AND READ THIS BOOK WOULD YOU ?
berkebalikan, saya tidak menganjurkan buku ini dibaca oleh anak2. mengapa ? tentunya tidak masalah andai saja buku ini tidak dipajang bersebelahan dengan "Lupus Kecil". tapi buku ini jelas tidak mendapatkan pengampunan meski dilabeli "Explicit Content" atau "Parental Advisory" sekalipun. pembukaannya saja sudah menyuguhkan scene yg wajar bagi manusia seumuran saya, tapi tentu tidak untuk pembaca Lupus Kecil. mungkin karena buku ini di editori juga oleh Moammar Emka[1] ? yang jelas, durex bertebaran dimana2.
sialnya, calon pembeli tidak mendapatkan info apa2 untuk ini. halaman belakang sibuk dengan review dari Riri Reza dan Sarah Sechan. tidak ada sinopsis sama sekali. sementara itu jika rasa penasaran muncul, entah darimana datangnya seperti ada malaikat menepuk pundak dan berbisik :
"Membuka Segel Berarti Membeli"
sayang, buku tidak memilih pembelinya. sampul yg sangat remaja mungkin membuat anak smp membeli buku ini. tidak masalah, sepanjang otak anak itu tidak dipenuhi agresifitas hormon2 masa pubertas yg mampu menerjemahkan hal2 di luar kendali. kalo ya, selamat. buku ini lebih aman dibawa ke kamar mandi daripada stensilan. memang menulis kisah cinta itu sulit. salah membentuk scene sedikit, maka tidak akan beda jauh dengan stensilan. saya juga mengalami kejadian yg sama saat menulis skenario film tentang cinta. pdhal it just a fuckin kissing scene... tp membacanya seperti membaca stensilan. wah wah... [2]
lepas dr kontroversi "how stensilan this book is", saya rasa Adhit cukup bijak untuk terus menyertakan durex di setiap scene "cinta" ini. bahkan pd salah satu scene digambarkan si tokoh harus berlari 1400 meter dan menanggung malu luar biasa hanya untuk mendapatkan Durex Featherlite sebelum bercinta dengan selingkuhannya. setidaknya ada pesan, kalo pun bercinta.. bercintalah dengan aman. gunakan durex *entah apakah produsen kondom ini merupakan sponsor resmi buku ini atau bukan*. atau mungkin saya yg salah tangkap - bahwa pesan sebenarnya adalah "berlari 1400 meter sebelum bercinta itu menyehatkan" ?
bagi kamu yg sering membaca blognya Adhit tentu akan mendapatkan bahwa sebenarnya kisah dalam buku ini pernah muncul sepotong2. misalnya bagian ketika Agus ke rumah Rita - ingat posting tentang Jam Pelaku dan Aktivitas saat pdkt ? atau juga scene berlari 1400 meter diatas, hanya saja objeknya bukan durex melainkan majalah Male Emporium edisi Agustus yg memuat 8 halaman pose Dian Sastro. tentunya tips2 buaya cinta yg pernah dipaparkan itu juga dimuat disini, hanya saja tidak sedetail di blog. mungkin buku berikutnya ? gaya menulisnya juga sangat Adhitya. ingat bahwa Adhit selalu menjelaskan hal2 dengan sistematis meskipun tetap konyol. bagi yg terbiasa pasti dengan mudah menangkap esensinya dan tidak terjebak dengan kesan resmi penulisan yg nampak seperti langkah2 penanggulangan keamanan dalam negeri.
dan selingan khayalan2 tentang perang dan kerajaan...
footnote. ah ya footnote. sebagai penggemar Seno Gumira Ajidarma[3], saya sering membaca novel dengan footnote. bukan footnote biasa tentunya. tapi footnote yg kadang lebih penting dr isi novelnya itu sendiri. seperti novel "Supernova"[4], mungkin. nah di buku ini Adhit juga bermain2 dengan footnote yg sayangnya... kenapa harus diletakkan dibagian akhir ? apakah agar pembaca selalu membolak balik halaman yg bersebelahan dengan profil penulis - yang otomatis akan melihat foto ganteng Adhitya Mulya disebelahnya. dan semakin menyebalkan ketika sebuat footnote yg bermaksud bercanda seperti : Algae7 dan ketika dicari footnotenya berbunyi "semacam apa ya... duh lupa". akan lebih baik jika footnote langsung diletakkan dihalaman yg sama, sehingga niat becandanya langsung on time dan footnote2 yg menjelaskan yg sudah jelas seperti "Asri, bukan asisten dosen" atau "sebuah struktur kalimat yg tidak benar karena semua dagu mengarah ke bawah" tidak terasa garing gak penting dan masih 'fresh' lucunya.
belum lagi masalah stensilan juga terbawa sampai ke footnote. scene ketika Lani dan Asri ngobrol di toilet kampus masih juga harus dibubuhi footnote "yang kurang dr adegan ini adalah sebuah hiddencam dan hardcore lesbian scene". ini lucu dan membuat saya tertawa. tapi saya kira Adhit memang harus mengurangi terlalu lama menatap pose2 mengintimidasi dr Nyla Bernadette. bukankah dalam buku ini juga terdapat pembelaan "orang membaca POPULAR karena review filmnya bagus, bukan karena..." - pembelaan yg segera mentah bagi orang2 yg terlalu serius dalam membaca buku ini. hehe :)
tapi lepas dr hal2 diatas, buku ini sangat bagus terutama untuk kamu yg mengalami kehampaan dalam cinta atau mengalami jalan cinta yg monoton. bagi beberapa org ini mungkin fiksi. tp saya seperti membaca realitas. saya tidak tau apakah kisah ini nyata atau tidak, tapi ini kisah yg pantas untuk menjadi nyata[5]. alurnya yg mengalir, simple, lucu tentu saja tapi tetap menyimpan makna yg "dalam". kamu akan terkejut dengan ending buku ini - yang bagaimanapun Adhit bukan hanya berhasil melucu tapi berhasil membuat suatu kisah yg bagus yg layak untuk difilmkan sekalipun. mungkin Riri Reza mau mengubahnya jadi skenario, agar dunia film komedi kita tidak hanya dikuasai si Babe[6]. he he he. suatu karya yg bagus, jika sasaran pembacanya tepat. well, setidaknya ini sudah cukup penting untuk sebuah karya debut. tidak semua org bisa melucu, tidak semua org bisa menulis dan yg paling penting... tidak semua org bisa melucu lalu menuliskannya seperti yg dilakukan Adhit.
buku ini masih memiliki kekurangan - yg sangat wajar untuk sebuah karya debut, tapi cukup berarti untuk dikoleksi. selamat membaca.
----
notes :
[1] Moammar Emka, adalah penulis buku Jakarta Undercover dan yang terbaru - Red Diary. kedua buku ini bercerita tentang kehidupan malam, yg satu milik sebuah kota satunya lagi milik seorg lelaki malam. sedikit mengejutkan menemukan namanya sebagai salah satu editor karya Adhit, membuat saya curiga bahwa scene seks ini melewati batas permisif seorang editor dengan melambai ceria berhubung dia adalah penulis buku dengan content serupa yg lebih mendalam. tapi tentu saja ini hanyalah sebuah kecurigaan saja, yg bahkan sebenarnya tidak perlu dipikirkan benar - benar.
[2] penulis review ini - saya - sebenarnya sedang curhat. :)
[3] kumpulan cerpen dan novel Seno Gumira Ajidarma yg memuat footnote2 penting antara lain "Atas Nama Malam" dan "Jazz, Parfum dan Insiden". pada kumpulan cerpen "Atas Nama Malam" ada banyak referensi tentang jenis2 minuman pada footnotenya, sedangkan novel "Jazz, Parfum dan Insiden" mengisi footnotenya dengan referensi jenis2 parfum dan khusus untuk footnote tentang Jazz dan Blues jika disatukan bisa menjadi satu katalog kecil tentang sejarah musik Jazz dan Blues.
[4] novel "Supernova" yg dimaksud adalah seri pertama "Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh" yg mengangkat nama Dee sebagai penulis debutan yg luar biasa. Ayu Utami sambil bercanda pernah menyindir Dee lebih pantas mendapat nobel Fisika bahkan bila dia dinominasikan untuk nobel Sastra. ini mengingat banyaknya footnote tentang istilah2 fisika (juga psikologi, biologi, dan kimia) di dalamnya. pada cetakan keempat, tentang footnote ini dibahas pada bagian pengantar dengan penuh canda bahwa mereka memang punya kegilaan akan footnote, melakukan senam footnote, dan untuk menambah kegilaan - kata pengantar tersebut pun diberikan footnote. saya sempat terpikir, jangan2 novel adhit ini pun bisa kalah lucu dalam memperlakukan footnote - cukup dengan 4 halaman kata pengantar pd novel "Supernova" cetakan keempat tersebut.
[5] lagi, penulis review ini - saya - berusaha untuk curhat. bahwa sebenarnya kisah Doni itu pernah terjadi sama saya. ugh, malu :).
[6] Babe, adalah panggilan akrab Richard Buntario - bos BDI (Broadcast Design Indonesia) yg sejak kebangkitan film indonesia rajin membuat film2 komedi, dimulai dengan 5 Sehat 4 Sempurna dan kemudian Cinta 24 Karat. bisa dibilang BDI dengan bintang2nya Rena Tabitha, Ivan Gunawan dan Indra Bekti mendominasi film2 komedi Indonesia - juga diakibatkan gagalnya Rexinema *dengan Detektif Partikelirnya yg urung launch* ikut bersaing. siapa tau Riri Reza berniat membuat film komedi, dan mengakhiri dominasi BDI. dengan begini pun toh tidak akan mencoreng nama Miles Production sebagai penghasil film2 cinta[1].
[6] [1] salah satu film terlaris Miles adalah Ada Apa Dengan Cinta ? yg mengisahkan kegelisahan seorg cewe bernama Cinta[2] krn kehadiran sosok cowo bernama rangga dalam hari2nya.
[6] [2] Cinta diperankan oleh Dian Sastrowardoyo[3]
[6] [3] I should really stops making footnotes on footnotes [4]
[6] [4] kalimat ini saya contek langsung dr buku Adhit ini yg berjudul Jomblo ;P